Author

Seorang gadis kecil berdiri di tengah kota yang penuh dengan kekacauan. Tubuhnya diselimuti debu, rambutnya yang berwarna hitam kini terliha...

Jeritan

Seorang gadis kecil berdiri di tengah kota yang penuh dengan kekacauan. Tubuhnya diselimuti debu, rambutnya yang berwarna hitam kini terlihat berwarna abu-abu. Dan terdapat cairan merah yang keluar dari dahinya yang turun ke dagu mengotori bajunya. Gadis itu menoleh kesana kemari. Tempat yang ia kenal kini tampak berbeda. Kota yang biasanya ramai, tempatnya bermain, kini berubah menjadi runtuhan puing-puing setelah subuah benda yang jatuh dari langit menghantam kota itu.



Hampir seluruh bangunan disana rata dengan tanah. Termasuk rumah tercintanya. Gadis itu bertanya dalam hati, apa salahnya? Apa orang-orang itu tidak puas merenggut keluarganya dan sekarang malah merenggut tempat tinggalnya juga?

Kejadian itu begitu cepat baginya. Ayahnya mati tertembak. Ibunya diculik setelah di perkosa oleh makhluk-makhluk yang tidak berperasaan. Adiknya tertimbun reruntuhan rumahnya.

Dia menyesal. Andai saja dia lebih menjaga adiknya, pasti mereka berdua akan selamat sekarang.

Gadis itu memeluk harta satu-satunya yang ia miliki, boneka beruang usang pemberian ibunya. Wajahnya memerah, alisnya mengerut marah. Matanya berkaca-kaca menahan tangis.

"Akan aku adukan kalian kepada Allah!" jeritnya sekuat tenaga hingga tenggorokannya terasa sakit.

Hanya itu yang bisa dia lakukan. Mengadu kepada Allah. Tak ada keluarga, hanya Allah tempatnya berkeluh kesah. Berharap agar dapat menolongnya, memberikannya kekuatan untuk menghadapinya semuanya.

Banyak anak di Suriah mengalami hal seperti itu, kehilangan keluarga dan teman-temannya. Dimana seharusnya mereka sibuk bermain dan belajar, kini harus merasakan perih yang amat dalam. Mereka tidak tau apa-apa. Tetapi mereka juga ikut menanggung akibatnya.

Seharusnya kita terus bersyukur diberikan kehidupan senikmat ini. Tak merasakan perang, tak merasakan kehilangan. Semoga saudara-saudara kita yang ada di Suriah dilindungi Allah. Amin.

0 komentar: